Mi instan oh mi instan. Betapa malangnya nasibmu saat ini. Kau sedang menghadapi satu masalah yang membuat citra-mu memburuk.
Sebelum berita yang beredar belakangan ini pun beberapa opini mengatakan kalau Engkau tidak baik untuk kesehatan atau Engkau terlalu berbahaya. Bahkan tak sedikit orang yang telah terpedaya oleh kelezatanmu harus berurusan dengan dokter. Seperti halnya adikku.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adikku laki-laki. Yang paling kecil masih SMP. Dan entah mengapa hubunganku dengannya sangatlah tidak baik. Selalu ada pertengkaran dan pertengkaran yang mewarnai hari-hari kami di rumah. Sedikit saja kami saling bicara maka ujung-ujungnya akan terjadi keributan bagai mercon disulut api yang langsung meledak. Ketidakcocokan kami itu bermula sejak dia kelas 5 sekolah dasar.
Oke, sebagai kakak mungkin aku tipe kakak yang egois. Aku mau kalau apa yang kukatakan harus dia patuhi olehnya. Malangnya, adikku itu tipe adik yang keras kepala. Jadi selalu susah untuk dikasih tahu. Intinya kami ini bagaikan dua kutub yang sama, jadi saling tolak-menolak. Jujur, aku lebih suka kalau jarang bertemu dengannya. Apa aku jahat?
Adikku yang seorang penggemar mi instan itu beberapa kali harus ke dokter karena menderita penyakit asam lambung. Orang yang punya penyakit asam lambung sudah pasti tidak boleh makan makanan yang kadar asamnya tinggi dan makanan yang berbahan pengawet, seperti mi instan. Bandelnya, sudah berkali-kali harus ke dokter karena penyakitnya itu dia masih saja suka makan mi instan. Kalau sarapan nggak dibuatin mi instan pasti langsung lemas nggak semangat pergi sekolah.
Sampai suatu hari, adikku yang bandel dan malas makan itu tiba-tiba mengeluh kesakitan. Meraung-raung memekakkan telinga. Aku, yang memang sering diam padanya untuk menghindari keributan jadi terbangun dari tidur siangku gara-gara raungannya itu. Dengan tampang kusut aku keluar kamar. Emosi karena terbangun dari tidur nyenyakku membuat aku siap memarahinya. Kata-kata mutiara kekesalan sudah diujung lidah ketika aku melihat tubuhnya meringkuk di lantai tepat di ruang keluarga rumah kami. Maka kutahan kata-kata mutiara itu.
Dengan ketus aku menanyainya, “kenapa kau?”
“Perut Ical, perut Ical sakit kali!” jawabnya sambil merintih kesakitan.
“Siapa suruh kau nggak makan tadi? Sukurin kan, jadi sakit perut kau!” seruku marah.
Aku kembali masuk ke kamar. Niatnya mau melanjutkan tidur, tapi rasa kantukku sudah hilang. Ah, gara-gara bocah tengik satu itu, batinku kesal. Suara rintihannya kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan (aku harus mengakuinya) agak sedikit mengkhawatirkan. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan kembali keluar kamar.
Mungkin aku tidak merasakan sakitnya, tapi melihat rintihan dan wajahnya yang pucat sepertinya dia betul-betul merasakan sakit yang luar biasa. Sampai-sampai karena rasa sakitnya itu dia tidak bisa meluruskan tubuhnya. Seketika aku panik. Naluri ke-kakak-an-ku tiba-tiba bangkit. Selama ini aku yang judes dan cuek kepadanya jadi merasa kasihan. Dan keharuan yang luar biasa (aku memang sensitif) menerpa dadaku. Sejelek-jeleknya hubungan kami, dia tetap adikku kan?
Kebetulan kedua orang tuaku sedang keluar rumah. Aku bingung harus melakukan apa. Ini kali pertama aku harus menghadapi situasi seperti ini. Segera kutelepon kedua orang tuaku.
“Kenapa?” sahut Ibuku di seberang sana.
“Ini, Bu, si Ical nangis-nangis perutnya sakit. Badannya nggak bisa dilurusi. Kalau dilurusi sakit kali perutnya!” jelasku.
“Masuk angin itu. Belum makan juga dia dari tadi?”
“Kayaknya belum.”
“Salah dia lah itu. Nggak urusan kalau udah kayak gini baru aduh aduh. Disuruh makan aja susah kali kayak dikasih racun. Coba tawarin makan mi, pasti sembuh tu sakitnya.” Omel ibuku di telepon.
Nah lho?! Kok jadi malah ngomel-ngomel. Hah, niat nelepon minta saran eh malah marah-marah.
“Jadi kayak mana ini?” tanyaku lagi.
“Entah lah!” jawabnya dan sambungan pun terputus.
Haduh, giliran situasi ini kenapa harus aku yang menghadapinya. Lagian kan anaknya sendiri yang sakit, kok malah nggak perduli gitu. Aku jadi makin bingung dibuatnya.
Aku kembali menelepon Ibuku.
“Ya, udahlah bawa aja dia ke dokter!” kata ibuku, belum lagi aku mengucapkan halo padanya.
“Tapi aku nggak nyimpan duit,” kataku.
“Pinjam dulu aja sama Tante, nanti Ibu ganti pas udah nyampe rumah.”
Segera aku pergi ke sebelah rumah, dimana Tanteku tinggal, dan segera pinjam uang. Aku juga minta tolong sama anak Tanteku minta diantarkan pakai motor ke rumah dokter yang jaraknya kira-kira berjarak satu blok dari rumahku. Karena melihat kondisi adikku yang seperti itu rasanya mustahil sekali harus berjalan kaki.
Maka berangkatlah kami ke tempat dokter. Setelah diperiksa, dokter mengatakan kemungkinan adikku kena usus buntu. Untungnya dia merasa sakit di bagian kiri perutnya. Yang kalau masih merasa sakit sampai besok harinya, berarti dia memang positif kena usus buntu. Tapi kalau tidak berarti masih aman. Kalau saja dia merasa sakit di bagian kanan perutnya sudah dipastikan dia kena usus buntu. Syukurnya tidak.
Si dokter berpesan sampai di rumah obatnya langsung diminum dan biarkan dia istirahat. Kalau dia merasa lapar kira-kira dua atau tiga jam lagi, kasih saja makan tapi itu pun harus bubur. Aku mengiyakannya. Si dokter pun berpesan pada adikku untuk tidak lagi makan makanan yang banyak mengandung bahan pengawet, seperti mi. Ternyata adikku itu suka sekali makan mi instan tanpa dimasak, atau dia hanya memakannya mentah-mentah menggunakan bumbunya seperti itu saja. Itu lah yang membuat asam lambungnya naik. Ditambah lagi karena malasnya dia makan nasi dan ketidakteraturan jadwal makannya.
Sampai di rumah, aku langsung melaksanakan pesan dokter. Aku menyiapkan dan memberikan obat dari dokter pada adikku. Setelah dia minum obat, dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan segera istirahat.
Sehabis kejadian itu, aku sendiri merasa aneh pada diriku sendiri. Ternyata masih ada keperdulianku kepadanya, walau kami sering bertengkar. Hal yang tidak pernah kulakukan padanya, hari itu malah terjadi. Mungkin aku masih ketus tapi itu kulakukan hanya untuk menutupi rasa kesensitifanku yang mudah sekali terharu melihat hal-hal yang sensitif.
Sampai detik ini hubungan antara aku dan adikku masih sama. Pertengkaran masih sering terjadi. Ketidakcocokkan masih terus berlanjut. Tapi setidaknya dia sudah jarang makan mi instan. Selain mendapat larangan keras dari kedua orang tuaku, dia pun sadar itu tidak baik bagi kesehatannya.
Dan aku… nggak tahu mau bilang apa. Tapi karena si mi instan ini lah (bukan berterima kasih ya karena udah buat adikku sakit) secuil naluri seorang kakak yang ada di dalam diriku ini bangkit hari itu. Walaupun hanya sekali, setidaknya kejadian itu membuat mi instan mempunyai tempat khusus yang akan selalu berada di dalam benakku selamanya. Dia yang membuatku jadi sedikit perduli dengan adikku. Adik kandungku sendiri.
Sekian…
By: Titam Hersih
Thursday, October 14, 2010
12.13 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar