Aggh! Rasanya kepalaku sakit sekali. Pandanganku kabur. Sepertinya aku pingsan dan cukup lama. Aku mencoba menggerakkan tubuhku, tapi sepertinya ada yang aneh dengan diriku. Setelah pandanganku fokus, baru kusadari ternyata saat ini aku sedang duduk terikat di sebuah kursi. Hah! Apa-apaan ini? Siapa yang berbuat seperti ini padaku? Dan dimana ini?
Aku memandang ke sekitarku. Bukankah ini rumahnya Gladys? Sekali lagi aku menoleh ke arah manapun yang bisa kulihat dengan keadaan duduk terikat seperti seorang sandera ini. Ya, aku tidak salah lagi. Ini adalah rumahnya Gladys. Tepatnya aku berada di ruang tengah rumahnya. Kenapa aku bisa berada di sini?
Aggh! Kepalaku sakit sekali rasanya. Aku mencoba mengingat, mengingat setiap kejadian yang kualami sebelum aku sampai di sini. Tapi susah sekali rasanya dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa mengingat apapun.
Kepalaku menoleh ke sana dan kemari mencoba menemukan sesuatu yang bisa membangkitkan memoriku. Mataku tertuju pada sesuatu yang menggantung di dinding. Itu adalah tempat tempelan catatan yang terbuat dari gabus. Yang menarik perhatianku adalah sebuah kartu besar yang sepertinya sebuah undangan yang ditempel tepat di tengah-tengah gabus itu. Aku mencoba menatapnya lekat-lekat. Aku merasa kartu undangan itu tidak asing bagiku. Ah…Kartu itu… Ah ya, kartu itu adalah kartu undangan pernikahanku.
Sesuatu tiba-tiba melintas dibenakku. Aku segera melempar pandanganku pada jam dinding, sekarang sudah jam empat sore. Dan seharusnya aku sudah menikah sekarang. Ya, seharusnya jam sembilan pagi tadi aku sudah melaksanakan pernikahanku.
Aku memejamkan mataku. Mencoba mengingat dan mengulang setiap kejadian yang kualami dari tadi pagi sampai aku bisa berada di sini. Karena aku yakin sekali aku masih berada di rumah tadi pagi.
Aku bangun tepat jam lima pagi. Tepatnya bangun dari tidur ayamku. Manusia mana yang bisa tidur tenang ketika waktu pernikahannya hanya tinggal beberapa jam lagi. Aku segera mandi dan melaksanakan sholat subuhku. Setelah itu, masih dengan pakaian rumah, aku menghapal setiap kata-kata yang akan kuucapkan di depan penghulu. Sampai suara ketukan terdengar dari pintu kamarku. Ibuku yang mengetuk pintu. Dia hanya mengingatkan bahwa sebaiknya aku bersiap-siap. Aku mengiyakannya dan segera berpakaian. Pakaian khusus akad nikah yang disiapkan oleh calon istriku, Chintya. Wanita itu lah yang selama tiga tahun ini selalu menemani hari-hariku. Dan akhirnya tiba juga hari dimana aku akan menjadikannya sebagai milikku seutuhnya. Walaupun Chintya tipe wanita yang keras, suka mengatur dan ingin-selalu-sempurna-dalam-segala-hal tapi aku sangat mencintainya. Aku bisa melihatnya sebagai wanita yang apa adanya, itu lah dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Tepat jam setengah delapan pagi aku keluar kamar dan bersama kedua orang tuaku kami berangkat ke masjid di dekat rumah Chintya. Di sanalah kami akan melangsungkan akad nikah. Ibuku mengajakku untuk naik mobil mereka saja. Tapi aku menolaknya. Aku bilang aku lebih nyaman untuk menyetir sendiri di saat aku sedang gugup. Maka aku pergi dengan menyetir mobilku sendiri. Ketika dalam perjalanan jarak mobilku dan kedua orang tuaku cukup jauh. Sepertinya mereka ketinggalan jauh di belakangku. Saat itulah dering hape-ku berbunyi. Di display tertera My Glad, sahabatku Gladys. Aku segera mengangkatnya.
“Ada apa, Glad?”
Tapi yang kudengar sebagai jawaban hanyalah suara Gladys sedang minta tolong. Aku bisa mendengar napasnya sedang tersengal-sengal, seperti habis berlari. Dan suara krasak-krusuk yang membuat aku tidak bisa mendengar jelas apa yang sedang terjadi dengan Glad saat itu. Lalu aku mendengar Glad dengan suara yang sangat ketakutan meminta tolong padaku, “tolong, Tom! Tolong aku. Aku takut!”
Seketika aku panik. Ada apa dengan Glad. Kenapa dia kedengaran takut sekali. Tetapi bagaimana aku bisa menolongnya. Sebentar lagi aku harus sampai di masjid. Apa aku masih punya waktu untuk menolong Glad? Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum jam menunjukkan angka delapan. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum akad nikah.
“Kau dimana Glad?” tanyaku.
“Di rumah, Tom. Tolong aku!” mohonnya.
Aku memejamkan mata. Kondisi Glad sepertinya parah sekali. Aku tidak bisa membiarkannya. Baiklah, aku sudah memutuskan. Aku akan memutar arah menuju rumah Glad. Aku berharap waktuku cukup untuk menolong Glad. Kalaupun terlambat, aku harap Chintya akan mengerti. Dia kan tahu kalau Glad adalah sahabat satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.
Aku segera memutar arah dan melajukan mobil ke rumah Glad. Kalau aku menaikkan kecepatan, dalam waktu lima belas menit aku bisa sampai di rumah Glad.
Aku menghentikan mobil di depan rumah Glad. Rumah Glad tampak tenang. Pagar rumahnya tertutup, tapi aku bisa melihat pintu rumahnya agak terbuka sedikit. Aku keluar dari mobil dan masuk ke halaman rumahnya. Sepelan mungkin aku melangkahkan kaki. Aku harus waspada terhadap apapun yang membuat Glad merasa takut. Mungkin ada sekelompok pencuri yang masuk ke rumahnya.
Aku menggeser pintu rumah Glad yang memang sudah terbuka sedikit. Ketika masuk keadaan kacau sudah menyambutku. Rumah Glad yang biasanya terlihat rapi, saat ini terlihat seperti habis kena gempa. Semua barang-barang Glad bertaburan di lantai. Aku melewati ruang tamu dan masuk ke ruang tengah. Di sanalah aku melihat Glad terikat di kursi dengan mulut di plester.
“Glad!” ucapku.“Apa yang terjadi denganmu?”
Aku segera menghampirinya. Tapi ketika berjalan aku bisa melihat mata Glad seperti mengisyaratkan sesuatu kepadaku. Matanya melotot, seolah-olah ingin menjelaskan ada sesuatu yang tidak beres dari arah belakangku. Aku mengerti maksud Glad dan tepat ketika aku akan menghadap ke belakang, sesuatu yang keras telah dipukul tepat di kepalaku. Tidak hanya sekali aku merasakannya, tapi berkali-kali sampai aku tidak ingat apa-apa lagi…
Ya, aku yakin seperti itulah yang kualami tadi. Aku pasti pingsan akibat pukulan bertubi-tubi itu. Tapi kenapa bisa aku yang diikat di sini? Kemana Glad? Jangan-jangan dia dibawa kabur lagi sama-sama pencuri-pencuri itu. Ah, segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Aku yakin Glad adalah wanita yang kuat. Dia tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun. Ya Tuhan, apakah Glad baik-baik saja saat ini? Aku sangat mengkhawatirkannya. Kalau terjadi apa-apa dengan Glad maka aku lah yang bersalah. Kalau saja aku lebih cepat datang kemari dan tidak begitu lemah menghadapi sekelompok orang jahat yang sudah mengganggu Glad. Pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti saat ini aku sudah menikah dan Glad yang punya suara merdu itu pasti sudah bernyanyi di pesta pernikahanku. Semua kejadian ini membuatku teringat akan kenangan bersama Gladys, sahabatku.
Gladys. Pertama kali bertemu dengannya ketika kami harus duduk sebangku di SMP. Dimataku Gladys adalah tipe gadis kutu buku. Dia manis, berkacamata, suka mengepang rambutnya, tidak banyak bicara dan pintar. Berbeda denganku yang selengean, gaul, dan malas belajar. Awalnya aku agak risih dengan sifat pendiamnya itu. Kalau bukan aku duluan yang mengawali pembicaraan maka dia akan diam saja. Aku merasa seperti duduk dengan patung. Hampir satu bulan aku duduk dengannya. Dan selama satu bulan itu belum ada percakapan yang berlangsung lama antara kami berdua. Sampai akhirnya suatu hari aku berpura-pura sakit untuk mendapatkan perhatian darinya. Dan rencanaku berhasil. Aku berhasil menarik perhatiannya. Ternyata dia bisa juga banyak bicara. Berbagai macam bantuan dia tawarkan padaku saat itu. Karena aku tidak tahan mengerjainya akhirnya aku tertawa. Gladys pun menatapku heran saat itu. Pandangannya bertanya-tanya dan sedikit khawatir. Mungkin dia mengira aku menderita penyakit yang bisa membuat penderitanya tiba-tiba tertawa. Sumpah, ekspresinya sangat lucu waktu itu. Aku betul-betul tidak tahan. Sambil menahan sakit perutku aku berkata jujur padanya, “Hahaha… Kau lucu sekali. Tampangmu itu. Aku hanya berpura-pura Gladys, aku tidak sakit. Hahaha…”
Gladys agak kaget mendengar kata-kataku waktu itu. Ekspresinya tiba-tiba berubah, sulit ditebak. Seperti hampa. Aku yang merasa agak aneh dengan perubahan itu menghentikan tawaku. Sambil garuk-garuk kepala aku bertanya padanya, “Kau tidak suka ya, Gladys?”
Gladys masih diam. Dia hanya menatapku lama. Beberapa saat kemudian dia menunjukkan ekpresi sakit diwajahnya. Aku pun kaget. Aku langsung memberondonginya dengan pertanyaan, “kau kenapa Gladys? Apakah kau sakit? Katakan padaku apa yang sakit? Mungkin aku bisa menolongmu? Atau mungkin kau mau pulang?”
Sebagai jawabannya, Gladys malah tertawa terpingkal-pingkal. Hah? Aku kaget. Seorang Gladys yang pendiam bisa juga tertawa seperti itu.
“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyaku polos.
Pertanyaanku makin membuatnya tertawa. Setelah beberapa menit kemudian, aku baru menyadari ternyata Gladys sedang mengerjaiku seperti aku mengerjainya tadi. Akhirnya kami pun tertawa bersama-sama. Dan saat itu lah persahabatanku dimulai dengannya.
Semakin hari kami semakin dekat. Ternyata Gladys adalah gadis yang sangat menyenangkan. Karena itu lah aku memanggilnya Glad. Dia senang ketika aku memanggilnya Glad. Aku merasa spesial, katanya.
Persahabatan kami awalnya tidak berjalan dengan mulus. Banyak teman-teman sekelasku yang bilang kalau aku mau bersahabat dengan Glad hanya karena dia pintar. Dan aku hanya ingin memanfaatkannya saja. Tapi itu sama sekali tidak benar. Untuk memikirkan hal itu saja aku tidak pernah. Bagiku Glad adalah sahabat yang sangat baik. Karena dia baik padaku, aku pun juga berusaha untuk menjadi sahabat yang baik baginya. Maka kami pun menganggap omongan teman-teman adalah angin lalu. Kami tetap menjalani persahabatan ini.
Persahabatan kami terus berjalan mulus. Sampai di SMA pun kami masih tetap bersama-sama. Walaupun tidak selalu sekelas, tapi kemana-mana kami selalu berdua. Hingga gosip kami berpacaran pun terdengar di seluruh sekolah. Tapi kami cuek saja mendengarnya. Hubungan kami murni sebagai sahabat. Aku menyayangi Glad sebagai sahabat, begitu juga Glad kepadaku.
Sebagai sahabat ia selalu bersedia untuk mendengarkan ceritaku. Ketika aku pertama kali jatuh cinta, Glad lah orang pertama yang kuberitahu. Dan dengan senang hati dia selalu memberikan banyak saran dan masukkan kepadaku. Bahkan ketika aku harus menghadapi yang namanya putus cinta atau patah hati, masih Glad lah orang yang meghiburku.
Seiring berjalannya waktu kami terus tumbuh menjadi dua orang yang dewasa. Saat duduk di bangku kuliah. Aku bisa melihat Glad berubah menjadi sosok yang semakin dewasa. Dia juga semakin pintar. Tapi dia masih tetap Glad sahabatku. Dia masih selalu ada ketika aku membutuhkannya. Dia selalu ada untuk memperhatikanku. Bagiku Glad bagaikan seorang Ibu, Kakak dan juga seorang adik.
Fakta yang paling aku suka dan aku kagumi tentang Glad adalah bahwa dia memiliki suara yang sangat merdu. Dia memang hobi sekali bernyanyi. Aku ingat waktu You Belong With Me-nya Taylor Swift lagi nge-hits, lagu itu lah yang selalu didengar dan dinyanyikannya. Lagu itu selalu menjadi daftar nomor satu ketika kami berkaraoke. Lagu itu juga ada di MP4-nya, hape-nya, laptopnya, atau apapun itu yang bisa mengeluarkan musik maka lagu You Belong With Me itu selalu ada.
Hanya satu hal yang membuatku khawatir tentang Glad. Sampai detik ini dia belum juga mempunyai seorang kekasih. Beda denganku yang sudah berkali-kali punya pacar dan malah akan (seharusnya sudah) menikah. Oke, aku bisa terima alasannya yang dulu-dulu. Yang dia mau sekolah dulu lah, dia ingin meraih cita-citanya dulu lah, atau apa lah. Selalu saja ada alasannya. Tapi untuk wanita seusianya dan sudah termasuk dalam kategori matang, dua puluh lima tahun, sepertinya lucu sekali kalau alasan yang diutarakannya masih seperti itu. Aku yakin sesukses-suksesnya wanita dalam berkarier, mereka pasti ingin menikah juga. Hanya saja setiap kali aku mengungkit masalah pasangan, Glad selalu berusaha membelokkan pembicaraan. Bahkan tidak sekali aku menawarkan diri pada Glad untuk mencarikannya pasangan. Tapi tetap saja Glad tidak mau. Aku pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuknya.
Dan aku masih tidak bisa berbuat apa-apa. Aku asli terperangkap. Ikatan ini kuat sekali, rasanya badanku ini hampir teriris oleh kuatnya tali yang terikat. Aku masih menggunakan pakaian pernikahanku. Pikiranku melayang ke Chintya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya sekarang. Aku yakin dia pasti marah dan kecewa sekali padaku. Chintya, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau hal ini akan terjadi.
Clekk!!!
Aku mengangkat kepala. Sepertinya aku mendengar suara kunci pintu yang dibuka. Aku menajamkan indera pendengaranku. Suara decitan pintu yang dibuka dapat kudengar. Ditutup dan dikunci kembali. Lalu suara kaki melangkah yang masuk ke dalam rumah. Jantungku berdegup mengikuti setiap suara langkah kaki itu. Siapa yang masuk? Apakah orang-orang jahat tadi? Dan…
“Gladys…” desahku.
Sosok Gladys muncul dihadapanku. Tiba-tiba rasa senang menyergap dadaku. Gladys kelihatan baik-baik saja. Berarti dia berhasil meloloskan diri dari orang-orang jahat itu.
“Glad, bagaimana… bagaimana kau bisa meloloskan diri?” tanyaku penuh semangat pada Gladys.
Gladys hanya tersenyum padaku. Senyum yang aneh menurutku. Senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya dari seorang Glad. Senyumnya agak sedikit mengerikan.
“Syukurlah Glad, kau tidak apa-apa. Aku kira kau disandera oleh orang-orang tadi yang mengacau di rumahmu,” kataku mencoba mengabaikan senyum anehnya itu.
Aku bisa melihat Glad kembali tersenyum. Dia berjalan ke arahku, aku tersenyum padanya. Aku sudah tidak tahan sekali dengan ikatan ini. Aku lega Glad akan segera melepaskan ikatan ini. Tapi Glad tidak menghampiriku, dia terus berjalan melewatiku. Aku agak kaget. Aku kira dia akan menghampiriku dan melepaskan ikatanku. Aku berusaha mengikuti kemana dia berjalan, tapi susah dengan posisi seperti ini. Yang dapat kudengar hanyalah suara air yang dituangkan ke gelas.
“Glad, bisa kah kau menolongku. Ikatan ini betul-betul menyakiti tubuhku.” Pintaku.
Tapi lagi-lagi Glad hanya diam. Dia mengeluarkan hape-nya dan setelah mengutak-atik sebentar, suara Taylor Swift menyanyikan You Belong With Me mengalun dari hape-nya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Aku hanya diam terpaku.
Aku masih diam ketika Taylor Swift habis menyanyikan lagunya. Dan Glad kembali mengutak-atik hape-nya. Lalu suara Taylor Swift kembali terdengar. Sampai di bagian lirik “Can’t you see that I’m the one who understands you… Been here all along so why can’t you see… You belong with me…”dia terus-terusan mengulangnya. Aku bisa melihatnya menekan-nekan tombol di hape-nya untuk me-replay lirik itu bolak-balik. Berkali-kali hingga aku tidak bisa menghitung lagi entah berapa kali dia sudah me-replay-nya.
Aku merasa ada yang aneh pada Glad saat ini. Dia tidak seperti Glad yang kukenal selama ini. Dia seperti asing bagiku. Glad yang ada dihadapanku saat ini sungguh misterius.
“Aku sungguh tidak mengerti ini semua, Glad.” Lirihku.
Glad kembali menyunggingkan senyum anehnya, “hah, kau masih tidak mengerti juga, Tom?”
“Ternyata kau bodoh, Tom. Bodoh sekali!” seru Glad, ekspresi frustasi terpancar di wajahnya.
“Ada apa sebenarnya denganmu, Glad? Kenapa kau tiba-tiba berubah?”
“Tidakkah… tidakkah kau sadar, Tom? Kenapa aku bisa seperti ini?” tanyanya ketus.
“Aku sungguh tidak mengerti, Glad. Tolong jelaskan kepadaku!” pintaku.
Glad tampak frustasi sekarang. Sungguh bukan seperti Glad yang aku kenal. Glad sekarang mondar-mandir dihadapanku. Matanya memancarkan rasa takut sekaligus amarah yang teramat sangat.
“Aku… aku… tidak bisa. Aku tidak bisa!” teriaknya tiba-tiba.
“Tidak bisa apa, Glad?” aku bertanya sabar.
Dia menoleh kepadaku. Aku bisa melihat air mata menetes di pipinya. Ada apa sebenarnya denganmu Glad?
“Aku tidak bisa… aku tidak bisa, Tom. Aku tidak bisa melihatmu menikah. Ya, kau tidak boleh menikah. Kau tidak boleh menikah, Tom.” Jawabnya.
Sumpah, aku kaget mendengar jawaban Glad barusan. Dia tidak bisa melihatku menikah? Apa maksudnya itu?
“Glad!” teriakku, “aku mohon setan apapun itu segeralah keluar dari tubuh Glad. Glad sahabatku tidak mungkin seperti ini!”
Glad tersenyum sinis, “Inilah aku yang sebenarnya, Tom!”
“Tapi kenapa, Glad?”
Glad menarik napas panjang sebentar lalu dengan perlahan dia berkata, “tidakkah kau mengerti kenapa selama ini aku tidak pernah mempunyai kekasih? Tidakkah kau mengerti kenapa aku selalu menolak setiap kali kau menawarkan seorang pasangan untukku? Tidakkah kau mengerti kenapa aku suka sekali lagu You Belong With Me? Tidakkah kau mengerti kenapa aku suka mengulang lirik itu? Bukankah aku yang selalu pertama tahu setiap kali kau jatuh cinta pada seorang wanita? Bukankah aku yang selalu menghiburmu ketika kau dicampakkan oleh wanita-wanita bodoh itu? Tidakkah kau bisa melihat bahwa hanya aku yang bisa mengerti dirimu, sekian lama Tom, tidakkah kau bisa melihatnya?”
Aku terpana mendengar semua yang keluar dari mulut Glad barusan. Glad, tidak… tidak mungkin dia…
“Ya, aku mencintaimu, Tom.” Lirihnya.
Glad menatapku lekat. Matanya memancarkan rasa cinta luar biasa yang baru kusadari saat ini.
“Sejak kapan Glad?”
“Sejak pertama kali bertemu denganmu,”
‘Tapi kenapa kau tidak pernah bilang?”
“Karena kau selalu berbicara tentang wanita lain, Tom. Aku tahu kau hanya menganggapku sebagai sahabatmu.”
Aku memejamkan mataku. Selama itu kah Glad sudah mencintaiku. Tapi kenapa aku tidak pernah menyadarinya.
“Glad, terima kasih sudah mencintaiku. Tapi itu sudah terlambat sekarang. Aku akan menikah dengan Chintya. Aku akan menjadi milik orang lain.”
“Sudah kubilangkan, kalau kau tidak bisa menikah dengan wanita itu, Tom!” bentaknya.
“Tidak. Aku akan menikah dengan Chintya. Aku mencintainya!” teriakku tak kalah keras darinya.
“Sudah terlambat, Tom, pernikahanmu sudah resmi dibatalkan. Tadi aku jalan-jalan sebentar ke masjid tempat kau akan melaksanakan akad nikah. Semuanya serba kacau. Wanita tolol itu menangis. Keluarganya kecewa, begitupun dengan kedua orang tuamu. Lalu aku datang, datang untuk memberitahu mereka bahwa kau sengaja tidak datang ke pernikahanmu sendiri karena kau memang tidak ingin pernah menikahi wanita itu. Mereka semua marah, tentu saja. Agak sedikit terjadi keributan tadi. Tapi yang terpenting adalah pernikahamu sudah dibatalkan. Wanita itu sangat kecewa sekali. Dasar bodoh!”
Aku merasakan darahku mendidih mendengar penjelasan Glad. Glad sungguh keterlaluan.
“Kau gila, Glad, GILA!!!” teriakku.
“Aku memang Gila, Tom. Gila karena dirimu!”
“Kau bukan sahabatku mulai detik ini, Glad. Aku sungguh tidak mengenalmu!”
“Oh ya, aku memang bukan sahabatmu lagi, Tom. Tapi mulai detik ini aku adalah kekasihmu.”
“Ciiihhh!!! Tak sudi aku menjadi kekasih wanita gila sepertimu!”
“Tapi kau tidak bisa kemana-mana, Tom. Kau sudah berada dalam genggamanku sekarang!”
“Lepaskan aku, wanita gila! Lepaskan aku sekarang juga!” aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Tapi si wanita gila itu malah memeluk tubuhku seerat-eratnya.
“Kau tidak bisa kemana-mana, Tom, kau sudah menjadi milikku sekarang!” ucapnya pelan.
Lalu dengan suara yang lembut dia bernyanyi di telingaku, “Can’t you see that I’m the one who understands you… Been here all along so why can’t you see… You belong with me…”.
Terus seperti itu. Berkali-kali…
Aku memandang ke sekitarku. Bukankah ini rumahnya Gladys? Sekali lagi aku menoleh ke arah manapun yang bisa kulihat dengan keadaan duduk terikat seperti seorang sandera ini. Ya, aku tidak salah lagi. Ini adalah rumahnya Gladys. Tepatnya aku berada di ruang tengah rumahnya. Kenapa aku bisa berada di sini?
Aggh! Kepalaku sakit sekali rasanya. Aku mencoba mengingat, mengingat setiap kejadian yang kualami sebelum aku sampai di sini. Tapi susah sekali rasanya dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa mengingat apapun.
Kepalaku menoleh ke sana dan kemari mencoba menemukan sesuatu yang bisa membangkitkan memoriku. Mataku tertuju pada sesuatu yang menggantung di dinding. Itu adalah tempat tempelan catatan yang terbuat dari gabus. Yang menarik perhatianku adalah sebuah kartu besar yang sepertinya sebuah undangan yang ditempel tepat di tengah-tengah gabus itu. Aku mencoba menatapnya lekat-lekat. Aku merasa kartu undangan itu tidak asing bagiku. Ah…Kartu itu… Ah ya, kartu itu adalah kartu undangan pernikahanku.
Sesuatu tiba-tiba melintas dibenakku. Aku segera melempar pandanganku pada jam dinding, sekarang sudah jam empat sore. Dan seharusnya aku sudah menikah sekarang. Ya, seharusnya jam sembilan pagi tadi aku sudah melaksanakan pernikahanku.
Aku memejamkan mataku. Mencoba mengingat dan mengulang setiap kejadian yang kualami dari tadi pagi sampai aku bisa berada di sini. Karena aku yakin sekali aku masih berada di rumah tadi pagi.
Aku bangun tepat jam lima pagi. Tepatnya bangun dari tidur ayamku. Manusia mana yang bisa tidur tenang ketika waktu pernikahannya hanya tinggal beberapa jam lagi. Aku segera mandi dan melaksanakan sholat subuhku. Setelah itu, masih dengan pakaian rumah, aku menghapal setiap kata-kata yang akan kuucapkan di depan penghulu. Sampai suara ketukan terdengar dari pintu kamarku. Ibuku yang mengetuk pintu. Dia hanya mengingatkan bahwa sebaiknya aku bersiap-siap. Aku mengiyakannya dan segera berpakaian. Pakaian khusus akad nikah yang disiapkan oleh calon istriku, Chintya. Wanita itu lah yang selama tiga tahun ini selalu menemani hari-hariku. Dan akhirnya tiba juga hari dimana aku akan menjadikannya sebagai milikku seutuhnya. Walaupun Chintya tipe wanita yang keras, suka mengatur dan ingin-selalu-sempurna-dalam-segala-hal tapi aku sangat mencintainya. Aku bisa melihatnya sebagai wanita yang apa adanya, itu lah dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Tepat jam setengah delapan pagi aku keluar kamar dan bersama kedua orang tuaku kami berangkat ke masjid di dekat rumah Chintya. Di sanalah kami akan melangsungkan akad nikah. Ibuku mengajakku untuk naik mobil mereka saja. Tapi aku menolaknya. Aku bilang aku lebih nyaman untuk menyetir sendiri di saat aku sedang gugup. Maka aku pergi dengan menyetir mobilku sendiri. Ketika dalam perjalanan jarak mobilku dan kedua orang tuaku cukup jauh. Sepertinya mereka ketinggalan jauh di belakangku. Saat itulah dering hape-ku berbunyi. Di display tertera My Glad, sahabatku Gladys. Aku segera mengangkatnya.
“Ada apa, Glad?”
Tapi yang kudengar sebagai jawaban hanyalah suara Gladys sedang minta tolong. Aku bisa mendengar napasnya sedang tersengal-sengal, seperti habis berlari. Dan suara krasak-krusuk yang membuat aku tidak bisa mendengar jelas apa yang sedang terjadi dengan Glad saat itu. Lalu aku mendengar Glad dengan suara yang sangat ketakutan meminta tolong padaku, “tolong, Tom! Tolong aku. Aku takut!”
Seketika aku panik. Ada apa dengan Glad. Kenapa dia kedengaran takut sekali. Tetapi bagaimana aku bisa menolongnya. Sebentar lagi aku harus sampai di masjid. Apa aku masih punya waktu untuk menolong Glad? Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum jam menunjukkan angka delapan. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum akad nikah.
“Kau dimana Glad?” tanyaku.
“Di rumah, Tom. Tolong aku!” mohonnya.
Aku memejamkan mata. Kondisi Glad sepertinya parah sekali. Aku tidak bisa membiarkannya. Baiklah, aku sudah memutuskan. Aku akan memutar arah menuju rumah Glad. Aku berharap waktuku cukup untuk menolong Glad. Kalaupun terlambat, aku harap Chintya akan mengerti. Dia kan tahu kalau Glad adalah sahabat satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.
Aku segera memutar arah dan melajukan mobil ke rumah Glad. Kalau aku menaikkan kecepatan, dalam waktu lima belas menit aku bisa sampai di rumah Glad.
Aku menghentikan mobil di depan rumah Glad. Rumah Glad tampak tenang. Pagar rumahnya tertutup, tapi aku bisa melihat pintu rumahnya agak terbuka sedikit. Aku keluar dari mobil dan masuk ke halaman rumahnya. Sepelan mungkin aku melangkahkan kaki. Aku harus waspada terhadap apapun yang membuat Glad merasa takut. Mungkin ada sekelompok pencuri yang masuk ke rumahnya.
Aku menggeser pintu rumah Glad yang memang sudah terbuka sedikit. Ketika masuk keadaan kacau sudah menyambutku. Rumah Glad yang biasanya terlihat rapi, saat ini terlihat seperti habis kena gempa. Semua barang-barang Glad bertaburan di lantai. Aku melewati ruang tamu dan masuk ke ruang tengah. Di sanalah aku melihat Glad terikat di kursi dengan mulut di plester.
“Glad!” ucapku.“Apa yang terjadi denganmu?”
Aku segera menghampirinya. Tapi ketika berjalan aku bisa melihat mata Glad seperti mengisyaratkan sesuatu kepadaku. Matanya melotot, seolah-olah ingin menjelaskan ada sesuatu yang tidak beres dari arah belakangku. Aku mengerti maksud Glad dan tepat ketika aku akan menghadap ke belakang, sesuatu yang keras telah dipukul tepat di kepalaku. Tidak hanya sekali aku merasakannya, tapi berkali-kali sampai aku tidak ingat apa-apa lagi…
Ya, aku yakin seperti itulah yang kualami tadi. Aku pasti pingsan akibat pukulan bertubi-tubi itu. Tapi kenapa bisa aku yang diikat di sini? Kemana Glad? Jangan-jangan dia dibawa kabur lagi sama-sama pencuri-pencuri itu. Ah, segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Aku yakin Glad adalah wanita yang kuat. Dia tidak pernah mengeluh dalam keadaan apapun. Ya Tuhan, apakah Glad baik-baik saja saat ini? Aku sangat mengkhawatirkannya. Kalau terjadi apa-apa dengan Glad maka aku lah yang bersalah. Kalau saja aku lebih cepat datang kemari dan tidak begitu lemah menghadapi sekelompok orang jahat yang sudah mengganggu Glad. Pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Pasti saat ini aku sudah menikah dan Glad yang punya suara merdu itu pasti sudah bernyanyi di pesta pernikahanku. Semua kejadian ini membuatku teringat akan kenangan bersama Gladys, sahabatku.
***
Gladys. Pertama kali bertemu dengannya ketika kami harus duduk sebangku di SMP. Dimataku Gladys adalah tipe gadis kutu buku. Dia manis, berkacamata, suka mengepang rambutnya, tidak banyak bicara dan pintar. Berbeda denganku yang selengean, gaul, dan malas belajar. Awalnya aku agak risih dengan sifat pendiamnya itu. Kalau bukan aku duluan yang mengawali pembicaraan maka dia akan diam saja. Aku merasa seperti duduk dengan patung. Hampir satu bulan aku duduk dengannya. Dan selama satu bulan itu belum ada percakapan yang berlangsung lama antara kami berdua. Sampai akhirnya suatu hari aku berpura-pura sakit untuk mendapatkan perhatian darinya. Dan rencanaku berhasil. Aku berhasil menarik perhatiannya. Ternyata dia bisa juga banyak bicara. Berbagai macam bantuan dia tawarkan padaku saat itu. Karena aku tidak tahan mengerjainya akhirnya aku tertawa. Gladys pun menatapku heran saat itu. Pandangannya bertanya-tanya dan sedikit khawatir. Mungkin dia mengira aku menderita penyakit yang bisa membuat penderitanya tiba-tiba tertawa. Sumpah, ekspresinya sangat lucu waktu itu. Aku betul-betul tidak tahan. Sambil menahan sakit perutku aku berkata jujur padanya, “Hahaha… Kau lucu sekali. Tampangmu itu. Aku hanya berpura-pura Gladys, aku tidak sakit. Hahaha…”
Gladys agak kaget mendengar kata-kataku waktu itu. Ekspresinya tiba-tiba berubah, sulit ditebak. Seperti hampa. Aku yang merasa agak aneh dengan perubahan itu menghentikan tawaku. Sambil garuk-garuk kepala aku bertanya padanya, “Kau tidak suka ya, Gladys?”
Gladys masih diam. Dia hanya menatapku lama. Beberapa saat kemudian dia menunjukkan ekpresi sakit diwajahnya. Aku pun kaget. Aku langsung memberondonginya dengan pertanyaan, “kau kenapa Gladys? Apakah kau sakit? Katakan padaku apa yang sakit? Mungkin aku bisa menolongmu? Atau mungkin kau mau pulang?”
Sebagai jawabannya, Gladys malah tertawa terpingkal-pingkal. Hah? Aku kaget. Seorang Gladys yang pendiam bisa juga tertawa seperti itu.
“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanyaku polos.
Pertanyaanku makin membuatnya tertawa. Setelah beberapa menit kemudian, aku baru menyadari ternyata Gladys sedang mengerjaiku seperti aku mengerjainya tadi. Akhirnya kami pun tertawa bersama-sama. Dan saat itu lah persahabatanku dimulai dengannya.
Semakin hari kami semakin dekat. Ternyata Gladys adalah gadis yang sangat menyenangkan. Karena itu lah aku memanggilnya Glad. Dia senang ketika aku memanggilnya Glad. Aku merasa spesial, katanya.
Persahabatan kami awalnya tidak berjalan dengan mulus. Banyak teman-teman sekelasku yang bilang kalau aku mau bersahabat dengan Glad hanya karena dia pintar. Dan aku hanya ingin memanfaatkannya saja. Tapi itu sama sekali tidak benar. Untuk memikirkan hal itu saja aku tidak pernah. Bagiku Glad adalah sahabat yang sangat baik. Karena dia baik padaku, aku pun juga berusaha untuk menjadi sahabat yang baik baginya. Maka kami pun menganggap omongan teman-teman adalah angin lalu. Kami tetap menjalani persahabatan ini.
Persahabatan kami terus berjalan mulus. Sampai di SMA pun kami masih tetap bersama-sama. Walaupun tidak selalu sekelas, tapi kemana-mana kami selalu berdua. Hingga gosip kami berpacaran pun terdengar di seluruh sekolah. Tapi kami cuek saja mendengarnya. Hubungan kami murni sebagai sahabat. Aku menyayangi Glad sebagai sahabat, begitu juga Glad kepadaku.
Sebagai sahabat ia selalu bersedia untuk mendengarkan ceritaku. Ketika aku pertama kali jatuh cinta, Glad lah orang pertama yang kuberitahu. Dan dengan senang hati dia selalu memberikan banyak saran dan masukkan kepadaku. Bahkan ketika aku harus menghadapi yang namanya putus cinta atau patah hati, masih Glad lah orang yang meghiburku.
Seiring berjalannya waktu kami terus tumbuh menjadi dua orang yang dewasa. Saat duduk di bangku kuliah. Aku bisa melihat Glad berubah menjadi sosok yang semakin dewasa. Dia juga semakin pintar. Tapi dia masih tetap Glad sahabatku. Dia masih selalu ada ketika aku membutuhkannya. Dia selalu ada untuk memperhatikanku. Bagiku Glad bagaikan seorang Ibu, Kakak dan juga seorang adik.
Fakta yang paling aku suka dan aku kagumi tentang Glad adalah bahwa dia memiliki suara yang sangat merdu. Dia memang hobi sekali bernyanyi. Aku ingat waktu You Belong With Me-nya Taylor Swift lagi nge-hits, lagu itu lah yang selalu didengar dan dinyanyikannya. Lagu itu selalu menjadi daftar nomor satu ketika kami berkaraoke. Lagu itu juga ada di MP4-nya, hape-nya, laptopnya, atau apapun itu yang bisa mengeluarkan musik maka lagu You Belong With Me itu selalu ada.
Hanya satu hal yang membuatku khawatir tentang Glad. Sampai detik ini dia belum juga mempunyai seorang kekasih. Beda denganku yang sudah berkali-kali punya pacar dan malah akan (seharusnya sudah) menikah. Oke, aku bisa terima alasannya yang dulu-dulu. Yang dia mau sekolah dulu lah, dia ingin meraih cita-citanya dulu lah, atau apa lah. Selalu saja ada alasannya. Tapi untuk wanita seusianya dan sudah termasuk dalam kategori matang, dua puluh lima tahun, sepertinya lucu sekali kalau alasan yang diutarakannya masih seperti itu. Aku yakin sesukses-suksesnya wanita dalam berkarier, mereka pasti ingin menikah juga. Hanya saja setiap kali aku mengungkit masalah pasangan, Glad selalu berusaha membelokkan pembicaraan. Bahkan tidak sekali aku menawarkan diri pada Glad untuk mencarikannya pasangan. Tapi tetap saja Glad tidak mau. Aku pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuknya.
***
Hah, rasanya sudah lama sekali aku berada di sini. Setelah kusadari ternyata Rumah Glad sudah kembali seperti sedia kala. Tidak seperti berjam-jam yang lalu ketika aku tiba di rumahnya. Rumah ini sudah rapi sekali. Segala macam barang terletak tepat di tempatnya. Hah, pintar sekali orang-orang jahat itu. Mereka sengaja merapikan barang-barangnya agar tidak ada yang curiga dengan apa yang terjadi di sini tadinya.Dan aku masih tidak bisa berbuat apa-apa. Aku asli terperangkap. Ikatan ini kuat sekali, rasanya badanku ini hampir teriris oleh kuatnya tali yang terikat. Aku masih menggunakan pakaian pernikahanku. Pikiranku melayang ke Chintya. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya sekarang. Aku yakin dia pasti marah dan kecewa sekali padaku. Chintya, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau hal ini akan terjadi.
Clekk!!!
Aku mengangkat kepala. Sepertinya aku mendengar suara kunci pintu yang dibuka. Aku menajamkan indera pendengaranku. Suara decitan pintu yang dibuka dapat kudengar. Ditutup dan dikunci kembali. Lalu suara kaki melangkah yang masuk ke dalam rumah. Jantungku berdegup mengikuti setiap suara langkah kaki itu. Siapa yang masuk? Apakah orang-orang jahat tadi? Dan…
“Gladys…” desahku.
Sosok Gladys muncul dihadapanku. Tiba-tiba rasa senang menyergap dadaku. Gladys kelihatan baik-baik saja. Berarti dia berhasil meloloskan diri dari orang-orang jahat itu.
“Glad, bagaimana… bagaimana kau bisa meloloskan diri?” tanyaku penuh semangat pada Gladys.
Gladys hanya tersenyum padaku. Senyum yang aneh menurutku. Senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya dari seorang Glad. Senyumnya agak sedikit mengerikan.
“Syukurlah Glad, kau tidak apa-apa. Aku kira kau disandera oleh orang-orang tadi yang mengacau di rumahmu,” kataku mencoba mengabaikan senyum anehnya itu.
Aku bisa melihat Glad kembali tersenyum. Dia berjalan ke arahku, aku tersenyum padanya. Aku sudah tidak tahan sekali dengan ikatan ini. Aku lega Glad akan segera melepaskan ikatan ini. Tapi Glad tidak menghampiriku, dia terus berjalan melewatiku. Aku agak kaget. Aku kira dia akan menghampiriku dan melepaskan ikatanku. Aku berusaha mengikuti kemana dia berjalan, tapi susah dengan posisi seperti ini. Yang dapat kudengar hanyalah suara air yang dituangkan ke gelas.
“Glad, bisa kah kau menolongku. Ikatan ini betul-betul menyakiti tubuhku.” Pintaku.
Tapi lagi-lagi Glad hanya diam. Dia mengeluarkan hape-nya dan setelah mengutak-atik sebentar, suara Taylor Swift menyanyikan You Belong With Me mengalun dari hape-nya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dilakukannya. Aku hanya diam terpaku.
Aku masih diam ketika Taylor Swift habis menyanyikan lagunya. Dan Glad kembali mengutak-atik hape-nya. Lalu suara Taylor Swift kembali terdengar. Sampai di bagian lirik “Can’t you see that I’m the one who understands you… Been here all along so why can’t you see… You belong with me…”dia terus-terusan mengulangnya. Aku bisa melihatnya menekan-nekan tombol di hape-nya untuk me-replay lirik itu bolak-balik. Berkali-kali hingga aku tidak bisa menghitung lagi entah berapa kali dia sudah me-replay-nya.
Aku merasa ada yang aneh pada Glad saat ini. Dia tidak seperti Glad yang kukenal selama ini. Dia seperti asing bagiku. Glad yang ada dihadapanku saat ini sungguh misterius.
“Aku sungguh tidak mengerti ini semua, Glad.” Lirihku.
Glad kembali menyunggingkan senyum anehnya, “hah, kau masih tidak mengerti juga, Tom?”
“Ternyata kau bodoh, Tom. Bodoh sekali!” seru Glad, ekspresi frustasi terpancar di wajahnya.
“Ada apa sebenarnya denganmu, Glad? Kenapa kau tiba-tiba berubah?”
“Tidakkah… tidakkah kau sadar, Tom? Kenapa aku bisa seperti ini?” tanyanya ketus.
“Aku sungguh tidak mengerti, Glad. Tolong jelaskan kepadaku!” pintaku.
Glad tampak frustasi sekarang. Sungguh bukan seperti Glad yang aku kenal. Glad sekarang mondar-mandir dihadapanku. Matanya memancarkan rasa takut sekaligus amarah yang teramat sangat.
“Aku… aku… tidak bisa. Aku tidak bisa!” teriaknya tiba-tiba.
“Tidak bisa apa, Glad?” aku bertanya sabar.
Dia menoleh kepadaku. Aku bisa melihat air mata menetes di pipinya. Ada apa sebenarnya denganmu Glad?
“Aku tidak bisa… aku tidak bisa, Tom. Aku tidak bisa melihatmu menikah. Ya, kau tidak boleh menikah. Kau tidak boleh menikah, Tom.” Jawabnya.
Sumpah, aku kaget mendengar jawaban Glad barusan. Dia tidak bisa melihatku menikah? Apa maksudnya itu?
“Glad!” teriakku, “aku mohon setan apapun itu segeralah keluar dari tubuh Glad. Glad sahabatku tidak mungkin seperti ini!”
Glad tersenyum sinis, “Inilah aku yang sebenarnya, Tom!”
“Tapi kenapa, Glad?”
Glad menarik napas panjang sebentar lalu dengan perlahan dia berkata, “tidakkah kau mengerti kenapa selama ini aku tidak pernah mempunyai kekasih? Tidakkah kau mengerti kenapa aku selalu menolak setiap kali kau menawarkan seorang pasangan untukku? Tidakkah kau mengerti kenapa aku suka sekali lagu You Belong With Me? Tidakkah kau mengerti kenapa aku suka mengulang lirik itu? Bukankah aku yang selalu pertama tahu setiap kali kau jatuh cinta pada seorang wanita? Bukankah aku yang selalu menghiburmu ketika kau dicampakkan oleh wanita-wanita bodoh itu? Tidakkah kau bisa melihat bahwa hanya aku yang bisa mengerti dirimu, sekian lama Tom, tidakkah kau bisa melihatnya?”
Aku terpana mendengar semua yang keluar dari mulut Glad barusan. Glad, tidak… tidak mungkin dia…
“Ya, aku mencintaimu, Tom.” Lirihnya.
Glad menatapku lekat. Matanya memancarkan rasa cinta luar biasa yang baru kusadari saat ini.
“Sejak kapan Glad?”
“Sejak pertama kali bertemu denganmu,”
‘Tapi kenapa kau tidak pernah bilang?”
“Karena kau selalu berbicara tentang wanita lain, Tom. Aku tahu kau hanya menganggapku sebagai sahabatmu.”
Aku memejamkan mataku. Selama itu kah Glad sudah mencintaiku. Tapi kenapa aku tidak pernah menyadarinya.
“Glad, terima kasih sudah mencintaiku. Tapi itu sudah terlambat sekarang. Aku akan menikah dengan Chintya. Aku akan menjadi milik orang lain.”
“Sudah kubilangkan, kalau kau tidak bisa menikah dengan wanita itu, Tom!” bentaknya.
“Tidak. Aku akan menikah dengan Chintya. Aku mencintainya!” teriakku tak kalah keras darinya.
“Sudah terlambat, Tom, pernikahanmu sudah resmi dibatalkan. Tadi aku jalan-jalan sebentar ke masjid tempat kau akan melaksanakan akad nikah. Semuanya serba kacau. Wanita tolol itu menangis. Keluarganya kecewa, begitupun dengan kedua orang tuamu. Lalu aku datang, datang untuk memberitahu mereka bahwa kau sengaja tidak datang ke pernikahanmu sendiri karena kau memang tidak ingin pernah menikahi wanita itu. Mereka semua marah, tentu saja. Agak sedikit terjadi keributan tadi. Tapi yang terpenting adalah pernikahamu sudah dibatalkan. Wanita itu sangat kecewa sekali. Dasar bodoh!”
Aku merasakan darahku mendidih mendengar penjelasan Glad. Glad sungguh keterlaluan.
“Kau gila, Glad, GILA!!!” teriakku.
“Aku memang Gila, Tom. Gila karena dirimu!”
“Kau bukan sahabatku mulai detik ini, Glad. Aku sungguh tidak mengenalmu!”
“Oh ya, aku memang bukan sahabatmu lagi, Tom. Tapi mulai detik ini aku adalah kekasihmu.”
“Ciiihhh!!! Tak sudi aku menjadi kekasih wanita gila sepertimu!”
“Tapi kau tidak bisa kemana-mana, Tom. Kau sudah berada dalam genggamanku sekarang!”
“Lepaskan aku, wanita gila! Lepaskan aku sekarang juga!” aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Tapi si wanita gila itu malah memeluk tubuhku seerat-eratnya.
“Kau tidak bisa kemana-mana, Tom, kau sudah menjadi milikku sekarang!” ucapnya pelan.
Lalu dengan suara yang lembut dia bernyanyi di telingaku, “Can’t you see that I’m the one who understands you… Been here all along so why can’t you see… You belong with me…”.
Terus seperti itu. Berkali-kali…
_Sekian_
At home
Saturday, October 16, 2010
11.40 PM
Saturday, October 16, 2010
11.40 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar